Kini senja tiba dan Almitra, pendeta wanita itu lalu berkata: Restu dan berkah-Nya semoga meliputi hari ini. Bagi tempat berpijak ini dan roh yang bersabda tadi. Maka jawabnya: Aku kah yang bicara sepanjang hari? Bukankah aku pun seorang pendengar yang rendah hati? Kemudian menapaklah ia menuruni tangga, meninggalkan kuil dan orang-orang mengikutinya. Sampailah ia di kapal dan sejenak berdiri tegak di geladaknya. Sekali lagi dia memandang orang-orang. Dengan nada tinggi, lantang terdengar ia berkata: Rakyat Orphalese tercinta, dengarlah sang angin telah memanggilku pergi. Tiada terburu aku, seperti bayu itu namun saatnya tak tertangguhkan lagi. Kami kaum pengembara yang senantiasa mencari jalan yang lebih sepi, tak pernah menyongsong pagi di tempat sama seperti kemarin masih kami huni. Dan tak pernah menyambut fajar di tempat sama seperti kemarin kami akhiri. Bahkan selama bumi tidur, berkelana jualah kami. Kami benih tanaman, dari jenis yang kuat bertahan, dalam keranuman dan isi hati
Every few hundred years, a blazing beacon hurls itself onto this plane called reality. On January 6, 1883, such a great light took form, blessing us with Kahlil Gibran. Through this channel were to come many famous works. This Lebanese-born poet, philosopher and artist knew from early childhood that life was more than it seemed.