Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2007

Perpisahan

Kini senja tiba dan Almitra, pendeta wanita itu lalu berkata: Restu dan berkah-Nya semoga meliputi hari ini. Bagi tempat berpijak ini dan roh yang bersabda tadi. Maka jawabnya: Aku kah yang bicara sepanjang hari? Bukankah aku pun seorang pendengar yang rendah hati? Kemudian menapaklah ia menuruni tangga, meninggalkan kuil dan orang-orang mengikutinya. Sampailah ia di kapal dan sejenak berdiri tegak di geladaknya. Sekali lagi dia memandang orang-orang. Dengan nada tinggi, lantang terdengar ia berkata: Rakyat Orphalese tercinta, dengarlah sang angin telah memanggilku pergi. Tiada terburu aku, seperti bayu itu namun saatnya tak tertangguhkan lagi. Kami kaum pengembara yang senantiasa mencari jalan yang lebih sepi, tak pernah menyongsong pagi di tempat sama seperti kemarin masih kami huni. Dan tak pernah menyambut fajar di tempat sama seperti kemarin kami akhiri. Bahkan selama bumi tidur, berkelana jualah kami. Kami benih tanaman, dari jenis yang kuat bertahan, dalam keranuman dan isi hati

Kematian

Lalu Almitra bicara lagi menanyakan bagaimana penjelasan tentang Kematian. Dan Guru menjelaskan: Sesungguhnya kau sendiri dapat menyelami rahasia kematian. Tapi betapa kau akan berhasil menemukan dia, selama kau tiada mencarinya di pusat jantung kehidupan? Burung malam yang bermata kelam, dia yang buta terhadap siangnya hari. Tiada mungkin membuka tabir rahasia cahaya. Pabila kau dengan sesungguh hati ingin menangkap hakekat kematian, bukalah hatimu selebar-lebarnya bagi ujud kehidupan. Sebab kehidupan dan kematian adalah satu, sebagaimana sungai dan lautan adalah satu. Di dasar keinginan dan harapan manusia yang terdalam terpendam pengetahuan tentang kehidupan di alam baka. Dan bagai benih tetumbuhan yang tidur di musim dingin di bawah selimut timbunan salju, hati manusia terlena dalam buaian mimpi musim semi. Percayailah mimpi itu sebab di dalam kabut terkanung pintu gerbang keabadian. Getarmu menghadapi kematian ibarat gemetarnya anak gembala ketika berdiri di hadapan raja, yang ber

Agama

Menyusul bicara seorang pendeta tua, memohon ulasan perihal Agama. Dan Guru bersabda: Sesungguhnya apakah segala yang kubicarakan tadi, bukannya agama yang menjadi inti? Bukankah agama sebenarnya meliputi segenap gagasan dan tindakan manusiawi? Bahkan juga meliputi yang bukan gagasan maupun tindakan, namun ketakjuban dan pengaguman yang lestari bermunculan dari kedalaman relung jiwa sunyi, walau tangan sedang sibuk mengapak batu. Ataupun sedang asyik menenun baju? Ah, siapakah yang dapat memisahkan kepercayaan dari tindakannya. Atau membedakan keyakinan dari pekerjaannya? Dan siapa yang mampu menguraikan jam-jam dan berkata: "Waktu yang ini adalah untuk Tuhan, dan waktu yang lain itu adalah untukku?" "Saat yang ini diperuntukkan jiwaku, sedangkan yang lain untuk badanku?" Waktumu semuanya adalah sayap yang mengembara, membelah arungan luas antariksa, bertolak dari dirimu dan berlabuh pada dirimu. Dia yang mengenakan kesusilaan laksana mengenakan baju pameran. Lebih

Keindahan

Seorang penyair mengajukan permintaan agar Sang Nabi menguraikan soal Keindahan. Dan mendapat tanggapan: Kemanakah kau hendak mencari keindahan, dengan cara bagaimana pula dia dapat kau temukan. Pabila tidak dia sendiri yang berada di perjalananmu, dan menunjukkan jalan untuk bertemu? Serta bagaimanakah kau akan berbicara mengenai dia, jikalau bukan dia sendiri yang merangkainya dalam kata-kata? Mereka yang duka dan terluka akan berkata: "Keindahan itu ramah dan lembut laksana sutera, Semisal wanita muda yang baru pertama bermahkota: "Ibu" Dan masih tersipu-sipu menggunakan keagungan nurnya yang baru. Mereka yang bersemangat akan berpendapat: "Tidak". Keindahan itu perkasa, kuat lagi pula dahsyat laksana gempa yang mengguncang bumi pijakan kita dan prahara yang menggelarkan langit naungan kita. Mereka yang letih dan lelah akan bicara: "Keindahan itu rangkaian bisikan yang amat mesra, dia bicara dari dalam rongga jiwa, suaranya mengalah kepada kebisuan kita

Kesenangan

Kemudian datang seorang pertapa, yang sekali setahun turun ke kota. Ia memohon wejangan tentang kesenangan. Jawabnya demikian: Kesenangan adalah lagu kebebasan, namun bukannya sang kebebasan sendiri. Dialah bunga-bunga hasrat keinginan, namun bukan buah yang asli. Sebuah jurang menganga yang berseru ke puncak ketinggian, Itulah dia namun dia bukan kedalaman maupun ketinggian itu sendiri. Dialah si terkurung yang terbang terlepas, namun bukannya ruang yang terbentang luas; Ya, sesungguhnyalah kesenangan merupakan lagu kebebasan. Dan aku amat suka bila dapat mendengarkan kalian menyanyikannya dengan sepenuh hati. Namun jangan hanyutkan diri dalam bernyanyi. Beberapa di antaramu mencari kesenangan seolah kesenangan itu adalah segala-galanya dan mereka ini dipergunjingkan, dihakimi dan dipersalahkan. Aku tak akan mempersalahkannya ataupun memarahinya, melainkan akan mendorong mereka untuk mencari dan menyelami. Sebab mereka akan menemukan kesenangan. Namun kesenangan tiada berdiri sendiri.

Doa

Berikutnya seorang pendeta wanita berkata: "Bicaralah kini kepada kami tentang doa". Guru pun menjawab, ujarnya: Kalian berdoa di saat kesulitan dan membutuhkan, alangkah baiknya kalian pun berdoa di puncak kegirangan. Dan di hari-hari rezekimu sedang berkelimpahan. Karena apalah doa itu selain pengembangan dirimu dalam ether yang hidup? Dan bila kau dapat merasa nyaman bila sempat mencurahkan kegelapan hatimu ke haribaan ruang angkasa, maka kau pun dapat merasa nyaman jika dapat memancarkan fajar merekah di hatimu ke cakrawala raya. Walaupun kau hanya dapat menangis di kala sukma memanggilmu berdoa. Biarlah dia memanggilmu lagi dan sekali lagi. Dan engkau datang masih menangis jua, sampai meningkat pada tertawa. Di saat berdoa kau membubung ke angkasa raya, bersatu rasa dengan mereka yang juga berdoa di saat yang sama. Ialah mereka yang tak mungkin kau temui kecuali dengan getaran doa. Oleh sebab itu biarlah kunjunganmu ke candi gaib nun jauh di sana, bersih dari tujuan lain

Kebaikan dan Kejahatan

Salah seorang tetua kota datang kemudian memohon padanya suatu uraian masalah Kebaikan serta Kejahatan. Dan memperoleh jawaban: Tentang kebaikan manusia aku bisa bicara namun tidak mengenai kejahatannya. Sebab apalah kejahatan itu selain kebaikan jua yang tersiksa oleh lapar dan hausnya sendiri? Sebenarnyalah jikalau kebaikan itu menanggung kelaparan dia mencari makanan walau sampai ke lorong gelap pun, dan pabila dahaga dia akan minum walau yang direguknya air beracun. Engkau benar, pabila engkau satu dengan dirimu namun engkau bukannya jahat pabila engkau sedang tak mantap dalam dirimu. Sebab rumah yang sedang terpecah belah bukanlah sarang kaum penjahat, melainkan hanya rumah yang terpecah belah. Sebuah perahu tanpa kemudi, mungkin mengambang tanpa tujuan antara pulau-pulau yang penuh bahwa tanpa mesti tenggelam ke dasar lautan. Engkau benar pabila engkau berusaha memberikan dirimu, namun engkau bukannya jahat pabila engkau masih mencari untung bagi dirimu sebab pencari untung diiba

Sang Waktu

Seorang ahli ilmu falak mohon bertanya: Guru, dan bagaimanakah perihal Sang Waktu? Dijawab oleh Sang Guru: Kau ingin mengukur Sang Waktu yang tiada ukur dan tanpa ukuran. Engkau hendak menyesuaikan sepak terjangmu, bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menggunakan ukuran musim serta jam-jam waktu. Suatu ketika kau akan menciptakan sungai cita-cita, dan di pinggirnya kau merenungi aliran airnya. Namun unsur abadi dalam dirimu, tiada asing lagi tapi telah menyadari keabadian Sang Waktu, dan mengetahui bahwa hari kemarin tiada lain dari kenangan hari ini, dan hari depan merupakan impian masa kini. Dan bahwa apa yang bernyanyi, merenung diri dalam sanubari sesungguhnyalah masih senantiasa menghuni ruang semesta saat pertama yang menaburkan bintang di angkasa raya. Siapakah diantaramu yang tiada merasa bahwa kemampuannya berkasih sayang tiada terduga? Namun siapa pula yang tak menghayati bahwa kasih sayang sejati walau tanpa batas bersemayam dalam inti diri, dan tiada bergerak dari satu pera

Bicara

Seorang terpelajar datang meminta sebuah uraian tentang Bicara. Maka dijawabnya: Engkau bicara, jikalau tak menemukan kedamaian dengan pikiran, yaitu tiada tahan lagi bersembunyi diri dalam hati. Maka kau hidup dengan bibirmu dan suara katamu menjadi hiburan perintang kalbu. Dalam kebanyakan ucapan, setengah fikiran tenggelam binasa, sebab fikiran adalah burung angkasa semesta yang dalam kurungan bentuk kalimat dan kata meski dapat jua membeberkan sayapnya namun tak mungkin terbang ke angkasa raya. Beberapa diantaramu mencari teman yang gemar bicara, terdorong kekhawatiran akan kesepian. Sebab heningnya kesunyian akan membuka mata insan terhadap kekurangsempurnaan diri. Dan karena itulah mereka lari. Ada pula yang bicara, dan dengan demikian tanpa sengaja ataupun tiada sadar membuka tabir kebenaran, yang tidak diketahuinya sendiri. Dan ada pula mereka yang menyimpan kebenaran di dalam kalbu namun tidak dia ucapkan dalam ujud perkataan. Dalam pribadi semacam ini sang jiwa bertahta dalam

Persahabatan

Menyusul bicara seorang remaja, mencari kebenaran soal Persahabatan. Dan mendapat jawaban: Sahabat adalah kebutuhan jiwa, yang mendapat imbangan. Dialah ladang hati yang dengan kasih kau taburi, dan kau pungut buahnya penuh rasa terima kasih. Dia pula lah naungan sejuk keteduhanmu, sebuah pendiangan demi kehangatan sukmamu. Karena kau menghampirinya di kala hati gersang kelaparan dan mencarinya di kala jiwa membutuhkan kedamaian. Bila dia bicara menyatakan fikirannya, kau tiada menakuti bisikan "tidak" di kalbumu sendiri. Pun tiada kau takut melahirkan kata "Ya". Dan bilamana ia diam terbungkam tanpa bicara, hatimu tiada kan henti mencoba menangkap bahasa hatinya. Karena dalam rangkuman persahabatan, tanpa kata segala fikiran, harapan dan keinginan. Dicetuskan bersama dan didukung bersama, dengan sukacita yang utuh pun tiada disimpan. Di saat berpisah dengan teman, kau tiada kan berduka cita: Sebab apa yang paling kaukasihi darinya, amatlah mungkin lebih cemerlang d

Pengajaran

Seorang guru datang memohon wejangan. Bagaimanakah seluk-beluk memberi pelajaran. Ia pun menerima uraian: Tak seorang pun dapat menanamkan pelajaran kecuali yang mulai terjaha. Di fajar subuh pengetahuan. Dan guru yang berjalan di bawah bayangan kuil ditengah murid-murid pengikutnya, tiada memindahkan kebijaksanaan namun membenihkan keyakinan serta kasih sayang. Bila ia bijaksana, sesungguhnya tiadalah ia memintamu memasuki gudang perbendaharaan kebijaksanaan itu, tapi akan menuntutmu ke depan pintu gerbang penalaran. Ahli ilmu falak mungkin bicara padamu tentang pengertian ruang angkasa, namun tak dapat ia memindahkan pengertiannya. Pemain musik boleh jadi berkisah lewat lagunya tentang bisikan irama yang abadi menggema di seluruh alam raya, namun tak dapat ia memberimu telinga penangkapnya yang menjala irama itu. Ataupun suaranya yang merekam gema itu. Dan dia yang mencakup segenap rahasia ilmu angka, dapat menjelaskan padamu seluk-beluk bidang dan ukuran, serta liku-liku persoalan b

Diri Pribadi

Lalu seorang pria angkat bicara: Guru, terangkanlah kini kepada kami tentang mengenal diri pribadi. Dan tutrnya berbunyi: Diam-diam dalam keheningan, hatimu sudah tahu segala rahasia hari serta malam. Namun telingamu masih rindu mendengar pengetahuan batin bersuara. Kau dambakan bentuk kata-kata untuk makna yang selama ini kau pahami dalam rasa. Kau ingin meraba dengan sentuhan panca indera wujud tri dimensi dunia mimpi. Dan seyogianyalah demikian keinginanmu. Sumber tersembunyi dari percikan jiwamu, Harus menyembul dan mengalir ke muara Gemercik menuju arah samudera. Sehingga harta terpendam di alas tanpa batas jiwamu terbuka nyata di hadapan penglihatanmu. Namun janganlah harta yang rahasia itu kau timbang dengan timbangan, Dan jangan kau duga dengan galah atau kau ukur dengan pita ukuran. Sebab diri pribadi adalah samudera tanpa batas, tanpa alas. Jangan kau berkata "Aku menemukan kebenaran". Lebih baik merasa "Aku menemukan sebagian kebenaran". Jangan kau ucapka

Derita

Maju pula seorang wanita yang meminta penjelasan tentang derita. Dan Guru pun terdengar bertutur-kata: Pedihnya derita adalah pecahnya peristiwa, koyaknya kulit ari yang membungkus kesadaran pengertian. Sebagaimana biji buah mesti pecah, agar intinya terbuka merekah bagi curahan cahaya surya. Demikian pun bagimu, kemestian tak terelakkan, mengenal derita serta merasakan kepedihan, dan kalau saja hatimu masih peka digetari ketakjuban, menyaksikan kegaiban yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan; Maka derita pedih itu tiada kurang menakjubkan daripada kegirangan dan kau pun akan rela menerima pergantian musim di hatimu sebagaimana kau senantiasa rela menerima penggeseran musim yang silih berganti merayapi ladangmu, semusim datang dan semusim pergi. Maka engkau pun akan tenang memandang meski agak pilu. Turunnya hujan salju yang mengiris dingin. Di kala musim dingin tiba menyinggahi hatimu. Banyak di antara yang kauderita adalah pilihanmu sendiri. Dialah ramuan pahit pemberian hidup pada

Akal dan Perasaan

Kembali bertanya pendeta wanita: Memohon ulasan perihal Akal serta Perasaan, dan diberilah kupasan: Sang jiwa seringkali menjadi ajang pertempuran, di arena itu akal pertimbanganmu berperang seru, melawan perasaan hati dan selera nafsu. Dapatkah hatiku menjadi pendamai di dalam jiwamu, sehingga mampu merobah kericuhan persaingan unsur-unsurmu. Menjelma jadi gubahan kesatuan dan keindahan lagu. Namun apalah dayaku, pabila kau sendiri sepi, dari hasrat menjadi pendamai diri, bahkan pecinta sejati unsur-unsur kesempurnaanmu pribadi? Akal pertimbangan dan perasaan hati diibaratkan, kemudi dan layar jiwa yang mengarungi laut kehidupan. Jikalau patah salah satu, layar atau kemudi itu, kau masih mengambang namun terombang-ambing gelombang. Atau terhenti lumpuh tanpa daya di tengah samudera. Sebab akal pikiran yang sendiri mengemudi, laksana tenaga yang menjebak diri sedangkan perasaan yang tak terkendali bagai api membara yang menghanguskan diri. Karena itu ajaklah perasaan menjunjung tinggi

Kebebasan

Seorang ahli pidato maju ke depan, menanyakan masalah kebebasan. Didapatnya jawaban: Telah kusaksikan, di gerbang kota maupun dekat tungku perapian, dikau bertekuk lutut memuja Sang Kebebasan. Laksana budak belian merendahkan diri di depan sang tuan, si zalim yang disanjung-puja, walaupun dia hendak menikam. Ya, sampaipun di relung-relung candi dan keteduhan pusat kota, kulihat yang paling bebas pun diantara kalian, memanggul kebebasannya laksana pikulan. Mengenakannya seperti borgol pembelenggu tangan. Hatiku menitikkan darah di dalam dada, karena kutahu bahwa kau hanya dapat bebas sepenuhnya pabila kau dapat menyadari bahwa keinginan bebas pun merupakan sebentuk belenggu bagi jiwamu. Hanya jikalau kau pada akhirnya, berhenti bicara tentang Kebebasan, sebagai suatu tujuan dan sebuah hasil pencapaian maka kau akan bebas. Bila hari-hari tiada kosong dari beban fikiran, dan malam-malammu tiada sepi dari kekurangan dan kesedihan. Bahkan justru kebebasanmu berada dalam rangkuman beban hidu

Undang-Undang

Seorang Ahli Hukum menyusul bertanya: Dan bagaimana tentang UU kita? Dijawabnya: Kalian senang meletakkan perundang-undangan, namun lebih senang lagi melakukan pelanggaran. Bagaikan kanak-kanak yang asyik bermain di tepi pantai yang penuh kesungguhan menyusun pasir jadi menara kemudian menghancurkan sendiri, sambil gelak tertawa ria. Tapi, selama kau sedang sibuk menyusun menara pasirmu Sang Laut menghantarkan lebih banyak lagi pasir ke tepi, dan pada ketika kau menghancurkan menara buatanmu Sang Laut pun turut tertawa bersamamu. Sesungguhnyalah, Samudera senantiasa ikut tertawa bersama mereka yang tanpa dosa. Tapi bagaimanakah mereka yang menganggap kehidupan bukan sebagai samudera, dan melihat UU buatannya sendiri, bukan ibarat menara pasir? Mereka lah yang memandang kehidupan laksana sebungkal batu karang, dan UU menjadi pahatnya, untuk memberinya bentuk ukiran, menurut selera manusia, sesuai hasrat kemauan? Bagaimana dia si pincang yang membenci para penari? Bagaimana pula kerbau y

Kejahatan & Hukuman

Maka tegaklah seorang di antara Hakim kota, tampil ke depan lalu bertanya: Kini bicaralah kepada kami tentang Kejahatan dan Hukuman. Dan pertanyaan ini dibalas dengan jawaban: Ketika rohmu sedang mengembara di atas angin, saat kau sendiri, tak berjaga-jaga dan terlena, detik itulah kau berbuat kesalahan pada orang lain, dan karena itu melakukan kesalahan terhadap dirimu pula. Untuk kesalahan yang telah kauperbuat itu kau harus mengetuk, demi terbukanya pintu, dan menunggu diam-diam beberapa waktu, di gapura orang-orang yang dikaruniai restu. Roh sucimu laksana samudera, yang tiada ternoda sepanjang masa. Bagaikan uap ether dia hanya kuasa, mengangkat dia yang bersayap ke angkasa. Bagaikan sang suryalah dia, roh sucimu. Tak dikenalnya liang-liang tikus, lubang-lubang ular pun dia tak tahu. Namun dalam manusia roh suci tidak sendiri. Dalam dirimu, manusia tetaplah masih manusia, sebagian daripadamu malah masih belum bersifat manusia. Dan sesosok bayangan mahluk kerdil tanpa bentuk, yang

Jual Beli

Seorang saudagar pun datang mendekat. Bicaralah pada kami tentang Jual dan Beli. Menjawablah ia, dan katanya: Kepadamu Sang Bumi memberikan buah-buahan dan manusia tak akan mengalami kekurangan, asalkan kau mengetahui bagaimana cara mengisi tangan. Di dalam pertukaran hasil kekayaan bumilah, maka manusia mendapatkan pangan yang melimpah ruah, dan disitulah dia memperoleh kepuasan. Namun apabila pertukaran hasil bumi tak berdasarkan kasih sayang, serta tak didasari oleh semangat keadilan yang paramarta, maka dia akan menggelincirkan sebagian besar umat kepada keserakahan. Dan sebagian lagi akan menderita kelaparan. Maka di tengah pasar, pabila kau si pengelola laut, pengelola tanah dan para penggarap kebun anggur, bertemu dengan kaum penenun dan pengrajin serta peramu bumbu dan obat-obatan, Sebutlah nama roh utama penguasa bumi agar hadir di antaramu, supaya menyaksikan kejujuran timbangan dan meneliti perhitungan, yang memperbandingkan antara nilai keduanya. Dan jangan biarkan orang ya

Pakaian

Seorang penenun datang menampilkan sebuah pertanyaan soal pakaian. Maka diberilah ia jawaban: Pakaian menyembunyikan banyak keindahan namun tak mampu menutupi keburukan. Dan walau dalam bersandang engkau mencari kebebasan terlindung dalam selubung diri, namun dikau mungkin mendapatkan belenggu ketopong serta rantai besi. Betapa inginku dikau menyambut sinar mentari serta menyongsong lembutnya hembusan angin langsung dengan serapan kulitmu sendiri tak banyak pakaian yang lekat menghalangi. Sebab nafas kehidupan ada dalam cahaya surya dan tangan kehidupan berada di angin-pawana. Beberapa di antaramu kudengar berkata: "Angin Utara lah yang menenun pakaian yang kami kenakan". Dan aku berkata pula: Ya, dialah si pembuat pakaian. Tetapi rasa malu mewujudkan alat pemintalnya, benangnya terbuat dari sutra penenang syaraf. Dan ketika kerja ini terlaksana, tertawalah ia di dalam rimba. Janganlah kau lupa bahwa kesantunan insan adalah perisai penolak pandangan pemandangan tak suci. Dan

Rumah

Kini melangkah maju seorang tukang batu, mempersoalkan tentang rumah. Dan kepadanya Sang Guru membalas pertanyaan: Bangunlah di dalam angan-angan, sebuah atap di tengah hutan, sebelum rumah kau dirikan dalam lingkungan kota. Karena, sebagaimana kau mesti pulang setiap senja, demikian pula jiwa halusmu yang mengembara sendiri senantiasa. Dia tumbuh berkembang di sinar mentari, Dia tidur di kala malam kelam dan sunyi Dalam kelelapan yang tiada sepi dari mimpi. Tiadakah rumahmu mengenal mimpi? Dan selama bermimpi, dia tinggalkan kotamu, melayang terbang ke gua-gua dan bukit biru? Alangkah dambaku menggenggam rumah-rumah itu dalam tanganku, Bagai menebar benih akan kutaburkan rumah ke hutan dan ladang. Alangkah dambaku lembah itu menjadi jalan rayamu, dan jalur hijau di sana menjadi lorong kotamu. Dan kau saling jumpa hanya setelah memintasi belukar anggur, sehingga bajumu membawa harum perkebunan. Dan wangi tanah menyegarkan pertemuan. Namun alangkah sayang, semua itu angan-angan terbayan

Suka dan Duka

Lalu seorang wanita bicara, menanyakan masalah suka dan duka. Yang dijawabnya: Sukacita adalah dukacita yang terbuka kedoknya. Dari sumber yang sama yang melahirkan tawa, betapa seringnya mengalir air mata. Dan bagaimana mungkin terjadi yang lain? Semakin dalam sang duka menggoreskan luka ke dalam sukma, maka semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia. Bukankah piala minuman, pernah menjalani pembakaran ketika berada dalam pembuatan? Dahulu bukanlah seruling penghibur insan adalah sebilah kayu yang pernah dikerati tatkala dia dalam pembikinan? Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati, Disanalah nanti engkau dapati bahwa hanya yang pernah membuat derita berkemampuan memberimu bahagia. Pabila engkau berdukacita, mengacalah lagi ke lubuk hati, Disanalah pula kau bakal menemui bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri. Diantara kalian ada yang mengatakan: "Sukacita itu lebih besar dari dukacita". Yang lain pula b

Kerja

Seorang peladang datang bertanya: Berilah penjelasan pada kami soal kerja. Maka demikianlah bunyi jawabnya: Kau bekerja supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini. Berpangku tangan menjadikanmu orang asing bagi musim. Serta keluar dari barisan kehidupan sendiri. Yang menderap perkasa, megah dalam ketaatannya, menuju keabadian masa. Bila bekerja engkau ibarat sepucuk seruling, lewat jantungnya bisikan sang waktu menjelma lagu. Siapa mau menjadi ilalang dungu dan bisu, pabila semesta raya melagukan gita bersama? Selama ini kau dengar orang berkata, bahwa kerja adalah kutukan, dan susah payah merupakan nasib, takdir suratan. Tetapi aku berkata kepadamu bahwa bila kau bekerja, engkau memenuhi sebagian cita-cita bumi yang tertinggi. Yang tersurat untukmu, ketika cita-cita itu terjelma. Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam. Namun pabila d

Makan dan Minum

Tampillah ke depan membawa persoalan. Seorang lelaki tua, pemilik penginapan: Jelaskanlah kini, Guruku perihal Makan dan Minum. Maka dia pun mendapat jawaban: Betapa kuingin, kau dapat hidup dari sariwangi bumi, laksana bunga angin yang cukup hidup dari cahaya. Tapi kau harus membunuh agar bisa dapat makanan. Dan untuk minum kaurenggut bayi hewan dari tetek induknya. Maka lakukanlah itu, namun laksana doa puja, khidmat dan kudus beserta upacara. Di penginapanmu dirikanlah altar, dan di atasnya taruhkan hidangan termurni, hasil hutan dan ladang nan tanpa najis. Sebagai sajian kurban, demi yang jauh lebih suci, dari noda dan dosa dalam diri manusia. Ketika kau menyembelih ternak, katakan padanya di dalam hati: "Demi kekuasaan yang membunuhmu, aku pun akan dibunuh-Nya" Dan juga aku akan menjadi santapan alam raya. Karena hukum yang menyerahkan kau ke dalam tanganku, akan sekali waktu menyerahkan daku ke dalam tangan yang lebih kuasa. "Darahmu dan darahku tak lain dari air s

Pemberian

Datang seorang kaya. Duhai, bicaralah pada kami tentang Pemberian. Dan jawaban Sang Guru: Bila kau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu. Bila kau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh arti. Sebab apalah harta milik itu, pabila bukan simpanan yang kau jaga. Buat persediaan hari kemudian? Dan hari kemudian mengandung janji apakah bagi dia, si anjing kikir, Yang menimbun tulang-tulang di bawah pasir, Dalam perjalanan ke kota suci, mengikuti musafir? Dan bukanlah ketakutan akan kemiskinan, merupakan kemiskinan tersendiri? Ketakutan akan dahaga, sedangkan sumur masih penuh, bukankah dahaga yang tak mungkin terpuaskan? Ada orang yang memberi sedikit dari miliknya yang banyak, dan pemberian itu dilakukan demi ketenaran Hasrat tersembunyi membuat tak murni dermanya. Ada pula yang memiliki sedikit dan memberikan segalanya. Mereka lah yang percaya akan kehidupan dan anugerah kehidupan. Dan peti mereka tiada pernah mengalami kekosongan. Ada yang memberi dengan kegirangan

Anak

Lalu seorang Ibu dengan bayi dalam dekapan datang mengajukan sebuah pertanyaan: Bicaralah pada kami tentang anak keturunan. Maka jawabnya: Anakmu bukan milikmu; Mereka putera-puteri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri; Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau; Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu. Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan paksakan bentuk pikiranmu; Sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri; Patut kauberikan rumah untuk raganya, tapi tidak untuk jiwanya. Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, Yang tiada dapat kau kunjungi sekalipun dalam impian. Kau boleh menyerupai mereka, namun jangan membuat mereka menyerupaimu. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, pun tidak tenggelam di masa lampau. Kau lah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian. Dia merentangmu dengan kekuasaan-Nya. Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat. Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan Sang Pem

Perkawinan

Kemudian Almitra melanjutkan pertanyaan: Guru, bagaimanakah soal perkawinan? Lalu Sang Guru memberi jawaban: Berpasangan engkau telah diciptakan, Dan selamanya engkau akan berpasangan. Bersamalah dikau tatkala Sang Maut merenggut umurmu, Ya, bahkan bersama pula kalian, dalam ingatan sunyi Tuhan. Namun biarkan ada ruang antara kebersamaanmu itu, Tempat angin surga menari-nari di antaramu. Berkasih-kasihanlah, namun jangan membelenggu cinta, Biarkan cinta itu bergerak senantiasa, bagaikan air hidup, Yang lincah mengalir antara pantai kedua jiwa. Saling isi lah piala minumanmu, tapi jangan minum dari satu piala, Saling bagilah rotimu, tapi jangan makan dari pinggan yang sama. Bernyanyi dan menarilah bersama, dalam segala suka cita, Hanya biarkanlah masing-masing menghayati ketunggalannya. Tali rebana masing-masing punya hidup sendiri, Walau lagu yang sama sedang menggetarkannya. Berikan hatimu, namun jangan saling menguasakannya, Sebab hanya Tangan Kehidupan yang akan mampu mencakupnya. T

Cinta

Berkatalah Almitra: Bicaralah kepada kami tentang Cinta. Diangkatnya kepala dan disapukannya pandangan kepada pendengarnya. Suasana hening meliputi mereka. Maka terdengar lantang ia bertutur kata: Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia, Walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula dia menyalibmu. Demi pertumbuhan mu, begitu pula demi pemangkasanmu. Sebagaimana dia membubung, mengecup puncak-puncak ketinggianmu, membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar dalam cahaya matahari, demikian pula dia menghunjam ke dasar akarmu, mengguncang-guncangnya dari ikatanmu dengan tanah. Laksana butir-butir gandum kau diraihnya. Ditumbuknya kau sampai polos telanjang. Diketamnya kau agar bebas dari kulitmu. Digoso

Datangnya Kapal

Almustafa, yang terpilih dan terkasih... Laksana fajar di jamannya; Dua belas tahun terdampar di kota Orphalase; Kini menanti kapalnya tiba; Membawanya pulang, ke pangkuan bumi kelahirannya. Dan tahun keduabelas, hari ketujuh; Di bulan Ielool, musim panen; Dia mendaki puncak bukit di luar tembok kota; Menembuskan pandang-rindu ke laut; Lalu datang kapal itu, dari bayangan kabut. Menguak lebarlah pintu-pintu hatinya; Melimpah ruah rasa girangnya, meluapi batas-batas samudera; Dipejamkannya mata, mengisakkan doa; Dari kandungan kalbunya. Namun ketika ia menuruni bukit, perasaan sedih mencekam diri; Dan ia berfikir dalam hati; Betapa aku dapat meninggalkan tempat ini; Dengan kedamaian di hati, tanpa duka? Tidak, bukannya tanpa luka di dalam jiwa; Akan kutinggalkan kota ini. Berkepanjangan hari-hari derita yang kuhayati di antara dindingnya; Dan panjang pula malam0malam kesepian; Tapi siapakah yang dapat berpisah dari kesedihan dan kesepiannya; Tanpa rasa pilu di hati? Terlampau banyak kep