Skip to main content

Suka dan Duka

Lalu seorang wanita bicara, menanyakan masalah suka dan duka.

Yang dijawabnya:
Sukacita adalah dukacita yang terbuka kedoknya.
Dari sumber yang sama yang melahirkan tawa, betapa seringnya mengalir air mata.
Dan bagaimana mungkin terjadi yang lain?

Semakin dalam sang duka menggoreskan luka ke dalam sukma,
maka semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia.
Bukankah piala minuman, pernah menjalani pembakaran ketika berada dalam pembuatan?

Dahulu bukanlah seruling penghibur insan adalah sebilah kayu yang pernah dikerati tatkala dia dalam pembikinan?

Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati,
Disanalah nanti engkau dapati bahwa hanya yang pernah membuat derita berkemampuan memberimu bahagia.

Pabila engkau berdukacita, mengacalah lagi ke lubuk hati,
Disanalah pula kau bakal menemui bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri.

Diantara kalian ada yang mengatakan:
"Sukacita itu lebih besar dari dukacita".

Yang lain pula berpandangan:
"Tidak, Dukalah yang lebih besar dari Suka".

Tetapi aku berkata kepadamu:
Bahwa keduanya tidak terpisahkan.

Bersama-sama keduanya datang, dan bila yang satu sendiri bertamu di meja makanmu,
Ingatlah selalu bahwa yang lain sedang ternyenyak di pembaringanmu.

Sebenarnyalah engkau ditempatkan tepat di tengah timbangan yang adil.
Menengahi kegembiraan dan kesedihan.

Hanya pabila engkau sedang hampa, kau diam tak gerak dan seimbanglah takaran.

Ketika Sang Bendahara berkanan mengangkatmu. Untuk menguji berat emas-perak di pinggan,
Di saat itulah Kesukaan dan Kedukaanmu timbul tenggelam.

Comments

Popular posts from this blog

Cinta

Berkatalah Almitra: Bicaralah kepada kami tentang Cinta. Diangkatnya kepala dan disapukannya pandangan kepada pendengarnya. Suasana hening meliputi mereka. Maka terdengar lantang ia bertutur kata: Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia, Walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula dia menyalibmu. Demi pertumbuhan mu, begitu pula demi pemangkasanmu. Sebagaimana dia membubung, mengecup puncak-puncak ketinggianmu, membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar dalam cahaya matahari, demikian pula dia menghunjam ke dasar akarmu, mengguncang-guncangnya dari ikatanmu dengan tanah. Laksana butir-butir gandum kau diraihnya. Ditumbuknya kau sampai polos telanjang. Diketamnya kau agar bebas dari kulitmu. Digoso

Kerja

Seorang peladang datang bertanya: Berilah penjelasan pada kami soal kerja. Maka demikianlah bunyi jawabnya: Kau bekerja supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini. Berpangku tangan menjadikanmu orang asing bagi musim. Serta keluar dari barisan kehidupan sendiri. Yang menderap perkasa, megah dalam ketaatannya, menuju keabadian masa. Bila bekerja engkau ibarat sepucuk seruling, lewat jantungnya bisikan sang waktu menjelma lagu. Siapa mau menjadi ilalang dungu dan bisu, pabila semesta raya melagukan gita bersama? Selama ini kau dengar orang berkata, bahwa kerja adalah kutukan, dan susah payah merupakan nasib, takdir suratan. Tetapi aku berkata kepadamu bahwa bila kau bekerja, engkau memenuhi sebagian cita-cita bumi yang tertinggi. Yang tersurat untukmu, ketika cita-cita itu terjelma. Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam. Namun pabila d