Skip to main content

Posts

Perpisahan

(sambungan dari Perpisahan A) ...Yang merekam hari-hari kemarin dulu, dan masa-masa terpendam jauh silam, ketika bumi belum mengenal kita dan dirinya sendiri, dan kegelapan ketika bumi resah dalam kegelisahan malam. Orang bijaksana telah banyak mendatangimu, untuk memberikan ajaran kebijaksanaannya, namun aku datang mengambil kebijaksanaan itu: Lalu lihatlah, kutemukan sesuatu, Yang malah lebih besar dari kebijaksanaan. Itulah api sumber semangat dalam dirimu, Yang makin lama makin tumbuh dan berkembang, Sedangkan kau yang tak menyadari perkembangan itu, Meratapi hari-harimu yang nampak menjadi usang. Adalah kehidupan yang mencari hidup jasmaniah belaka, Yang masih gentar menghadapi pintu alam baka. Tiada pekuburan di sini, Gemunung ini dan dataran ini, yang luas terhampar, Tak lain dari sebuah tilam, buaian mimpi, Dan sebuah batu loncatan, sebentuk dampar. Pabila kau melewati sebidang tanah sunyi, Tempat kau baringkan nenek-moyang leluhurmu, Amatilah seksama permukiman itu, Dan akan
Recent posts

Perpisahan

Kini senja tiba dan Almitra, pendeta wanita itu lalu berkata: Restu dan berkah-Nya semoga meliputi hari ini. Bagi tempat berpijak ini dan roh yang bersabda tadi. Maka jawabnya: Aku kah yang bicara sepanjang hari? Bukankah aku pun seorang pendengar yang rendah hati? Kemudian menapaklah ia menuruni tangga, meninggalkan kuil dan orang-orang mengikutinya. Sampailah ia di kapal dan sejenak berdiri tegak di geladaknya. Sekali lagi dia memandang orang-orang. Dengan nada tinggi, lantang terdengar ia berkata: Rakyat Orphalese tercinta, dengarlah sang angin telah memanggilku pergi. Tiada terburu aku, seperti bayu itu namun saatnya tak tertangguhkan lagi. Kami kaum pengembara yang senantiasa mencari jalan yang lebih sepi, tak pernah menyongsong pagi di tempat sama seperti kemarin masih kami huni. Dan tak pernah menyambut fajar di tempat sama seperti kemarin kami akhiri. Bahkan selama bumi tidur, berkelana jualah kami. Kami benih tanaman, dari jenis yang kuat bertahan, dalam keranuman dan isi hati

Kematian

Lalu Almitra bicara lagi menanyakan bagaimana penjelasan tentang Kematian. Dan Guru menjelaskan: Sesungguhnya kau sendiri dapat menyelami rahasia kematian. Tapi betapa kau akan berhasil menemukan dia, selama kau tiada mencarinya di pusat jantung kehidupan? Burung malam yang bermata kelam, dia yang buta terhadap siangnya hari. Tiada mungkin membuka tabir rahasia cahaya. Pabila kau dengan sesungguh hati ingin menangkap hakekat kematian, bukalah hatimu selebar-lebarnya bagi ujud kehidupan. Sebab kehidupan dan kematian adalah satu, sebagaimana sungai dan lautan adalah satu. Di dasar keinginan dan harapan manusia yang terdalam terpendam pengetahuan tentang kehidupan di alam baka. Dan bagai benih tetumbuhan yang tidur di musim dingin di bawah selimut timbunan salju, hati manusia terlena dalam buaian mimpi musim semi. Percayailah mimpi itu sebab di dalam kabut terkanung pintu gerbang keabadian. Getarmu menghadapi kematian ibarat gemetarnya anak gembala ketika berdiri di hadapan raja, yang ber

Agama

Menyusul bicara seorang pendeta tua, memohon ulasan perihal Agama. Dan Guru bersabda: Sesungguhnya apakah segala yang kubicarakan tadi, bukannya agama yang menjadi inti? Bukankah agama sebenarnya meliputi segenap gagasan dan tindakan manusiawi? Bahkan juga meliputi yang bukan gagasan maupun tindakan, namun ketakjuban dan pengaguman yang lestari bermunculan dari kedalaman relung jiwa sunyi, walau tangan sedang sibuk mengapak batu. Ataupun sedang asyik menenun baju? Ah, siapakah yang dapat memisahkan kepercayaan dari tindakannya. Atau membedakan keyakinan dari pekerjaannya? Dan siapa yang mampu menguraikan jam-jam dan berkata: "Waktu yang ini adalah untuk Tuhan, dan waktu yang lain itu adalah untukku?" "Saat yang ini diperuntukkan jiwaku, sedangkan yang lain untuk badanku?" Waktumu semuanya adalah sayap yang mengembara, membelah arungan luas antariksa, bertolak dari dirimu dan berlabuh pada dirimu. Dia yang mengenakan kesusilaan laksana mengenakan baju pameran. Lebih

Keindahan

Seorang penyair mengajukan permintaan agar Sang Nabi menguraikan soal Keindahan. Dan mendapat tanggapan: Kemanakah kau hendak mencari keindahan, dengan cara bagaimana pula dia dapat kau temukan. Pabila tidak dia sendiri yang berada di perjalananmu, dan menunjukkan jalan untuk bertemu? Serta bagaimanakah kau akan berbicara mengenai dia, jikalau bukan dia sendiri yang merangkainya dalam kata-kata? Mereka yang duka dan terluka akan berkata: "Keindahan itu ramah dan lembut laksana sutera, Semisal wanita muda yang baru pertama bermahkota: "Ibu" Dan masih tersipu-sipu menggunakan keagungan nurnya yang baru. Mereka yang bersemangat akan berpendapat: "Tidak". Keindahan itu perkasa, kuat lagi pula dahsyat laksana gempa yang mengguncang bumi pijakan kita dan prahara yang menggelarkan langit naungan kita. Mereka yang letih dan lelah akan bicara: "Keindahan itu rangkaian bisikan yang amat mesra, dia bicara dari dalam rongga jiwa, suaranya mengalah kepada kebisuan kita

Kesenangan

Kemudian datang seorang pertapa, yang sekali setahun turun ke kota. Ia memohon wejangan tentang kesenangan. Jawabnya demikian: Kesenangan adalah lagu kebebasan, namun bukannya sang kebebasan sendiri. Dialah bunga-bunga hasrat keinginan, namun bukan buah yang asli. Sebuah jurang menganga yang berseru ke puncak ketinggian, Itulah dia namun dia bukan kedalaman maupun ketinggian itu sendiri. Dialah si terkurung yang terbang terlepas, namun bukannya ruang yang terbentang luas; Ya, sesungguhnyalah kesenangan merupakan lagu kebebasan. Dan aku amat suka bila dapat mendengarkan kalian menyanyikannya dengan sepenuh hati. Namun jangan hanyutkan diri dalam bernyanyi. Beberapa di antaramu mencari kesenangan seolah kesenangan itu adalah segala-galanya dan mereka ini dipergunjingkan, dihakimi dan dipersalahkan. Aku tak akan mempersalahkannya ataupun memarahinya, melainkan akan mendorong mereka untuk mencari dan menyelami. Sebab mereka akan menemukan kesenangan. Namun kesenangan tiada berdiri sendiri.

Doa

Berikutnya seorang pendeta wanita berkata: "Bicaralah kini kepada kami tentang doa". Guru pun menjawab, ujarnya: Kalian berdoa di saat kesulitan dan membutuhkan, alangkah baiknya kalian pun berdoa di puncak kegirangan. Dan di hari-hari rezekimu sedang berkelimpahan. Karena apalah doa itu selain pengembangan dirimu dalam ether yang hidup? Dan bila kau dapat merasa nyaman bila sempat mencurahkan kegelapan hatimu ke haribaan ruang angkasa, maka kau pun dapat merasa nyaman jika dapat memancarkan fajar merekah di hatimu ke cakrawala raya. Walaupun kau hanya dapat menangis di kala sukma memanggilmu berdoa. Biarlah dia memanggilmu lagi dan sekali lagi. Dan engkau datang masih menangis jua, sampai meningkat pada tertawa. Di saat berdoa kau membubung ke angkasa raya, bersatu rasa dengan mereka yang juga berdoa di saat yang sama. Ialah mereka yang tak mungkin kau temui kecuali dengan getaran doa. Oleh sebab itu biarlah kunjunganmu ke candi gaib nun jauh di sana, bersih dari tujuan lain