(sambungan dari Perpisahan A) ...Yang merekam hari-hari kemarin dulu, dan masa-masa terpendam jauh silam, ketika bumi belum mengenal kita dan dirinya sendiri, dan kegelapan ketika bumi resah dalam kegelisahan malam. Orang bijaksana telah banyak mendatangimu, untuk memberikan ajaran kebijaksanaannya, namun aku datang mengambil kebijaksanaan itu: Lalu lihatlah, kutemukan sesuatu, Yang malah lebih besar dari kebijaksanaan. Itulah api sumber semangat dalam dirimu, Yang makin lama makin tumbuh dan berkembang, Sedangkan kau yang tak menyadari perkembangan itu, Meratapi hari-harimu yang nampak menjadi usang. Adalah kehidupan yang mencari hidup jasmaniah belaka, Yang masih gentar menghadapi pintu alam baka. Tiada pekuburan di sini, Gemunung ini dan dataran ini, yang luas terhampar, Tak lain dari sebuah tilam, buaian mimpi, Dan sebuah batu loncatan, sebentuk dampar. Pabila kau melewati sebidang tanah sunyi, Tempat kau baringkan nenek-moyang leluhurmu, Amatilah seksama permukiman itu, Dan akan
Kini senja tiba dan Almitra, pendeta wanita itu lalu berkata: Restu dan berkah-Nya semoga meliputi hari ini. Bagi tempat berpijak ini dan roh yang bersabda tadi. Maka jawabnya: Aku kah yang bicara sepanjang hari? Bukankah aku pun seorang pendengar yang rendah hati? Kemudian menapaklah ia menuruni tangga, meninggalkan kuil dan orang-orang mengikutinya. Sampailah ia di kapal dan sejenak berdiri tegak di geladaknya. Sekali lagi dia memandang orang-orang. Dengan nada tinggi, lantang terdengar ia berkata: Rakyat Orphalese tercinta, dengarlah sang angin telah memanggilku pergi. Tiada terburu aku, seperti bayu itu namun saatnya tak tertangguhkan lagi. Kami kaum pengembara yang senantiasa mencari jalan yang lebih sepi, tak pernah menyongsong pagi di tempat sama seperti kemarin masih kami huni. Dan tak pernah menyambut fajar di tempat sama seperti kemarin kami akhiri. Bahkan selama bumi tidur, berkelana jualah kami. Kami benih tanaman, dari jenis yang kuat bertahan, dalam keranuman dan isi hati