Skip to main content

Derita

Maju pula seorang wanita yang meminta penjelasan tentang derita.

Dan Guru pun terdengar bertutur-kata:

Pedihnya derita adalah pecahnya peristiwa, koyaknya kulit ari yang membungkus kesadaran pengertian.

Sebagaimana biji buah mesti pecah, agar intinya terbuka merekah bagi curahan cahaya surya.

Demikian pun bagimu, kemestian tak terelakkan, mengenal derita serta merasakan kepedihan, dan kalau saja hatimu masih peka digetari ketakjuban, menyaksikan kegaiban yang terjadi sehari-hari dalam kehidupan;
Maka derita pedih itu tiada kurang menakjubkan daripada kegirangan dan kau pun akan rela menerima pergantian musim di hatimu sebagaimana kau senantiasa rela menerima penggeseran musim yang silih berganti merayapi ladangmu, semusim datang dan semusim pergi.

Maka engkau pun akan tenang memandang meski agak pilu.

Turunnya hujan salju yang mengiris dingin.
Di kala musim dingin tiba menyinggahi hatimu.

Banyak di antara yang kauderita adalah pilihanmu sendiri.
Dialah ramuan pahit pemberian hidup pada pribadi demi penyembuhan bagian yang parah di dalam hati.

Maka percayailah tabib itu dan reguk kabis ramuan pahit kehidupan dengan cekatan, tanpa bicara.

Sebab tangannya walau keras dan berat terasa mendapat bimbingan gaib teramat lembut.
Dan piala obat yang dibawakannya, walau pedih terasa membakar bibir, telah dikepal-kepal oleh tangan-Nya.

Dari tanah liat yang dibubuhi air, tetesan air mata keramat-Nya.

Comments

Popular posts from this blog

Cinta

Berkatalah Almitra: Bicaralah kepada kami tentang Cinta. Diangkatnya kepala dan disapukannya pandangan kepada pendengarnya. Suasana hening meliputi mereka. Maka terdengar lantang ia bertutur kata: Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia, Walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula dia menyalibmu. Demi pertumbuhan mu, begitu pula demi pemangkasanmu. Sebagaimana dia membubung, mengecup puncak-puncak ketinggianmu, membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar dalam cahaya matahari, demikian pula dia menghunjam ke dasar akarmu, mengguncang-guncangnya dari ikatanmu dengan tanah. Laksana butir-butir gandum kau diraihnya. Ditumbuknya kau sampai polos telanjang. Diketamnya kau agar bebas dari kulitmu. Digoso

Kerja

Seorang peladang datang bertanya: Berilah penjelasan pada kami soal kerja. Maka demikianlah bunyi jawabnya: Kau bekerja supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini. Berpangku tangan menjadikanmu orang asing bagi musim. Serta keluar dari barisan kehidupan sendiri. Yang menderap perkasa, megah dalam ketaatannya, menuju keabadian masa. Bila bekerja engkau ibarat sepucuk seruling, lewat jantungnya bisikan sang waktu menjelma lagu. Siapa mau menjadi ilalang dungu dan bisu, pabila semesta raya melagukan gita bersama? Selama ini kau dengar orang berkata, bahwa kerja adalah kutukan, dan susah payah merupakan nasib, takdir suratan. Tetapi aku berkata kepadamu bahwa bila kau bekerja, engkau memenuhi sebagian cita-cita bumi yang tertinggi. Yang tersurat untukmu, ketika cita-cita itu terjelma. Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam. Namun pabila d

Suka dan Duka

Lalu seorang wanita bicara, menanyakan masalah suka dan duka. Yang dijawabnya: Sukacita adalah dukacita yang terbuka kedoknya. Dari sumber yang sama yang melahirkan tawa, betapa seringnya mengalir air mata. Dan bagaimana mungkin terjadi yang lain? Semakin dalam sang duka menggoreskan luka ke dalam sukma, maka semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia. Bukankah piala minuman, pernah menjalani pembakaran ketika berada dalam pembuatan? Dahulu bukanlah seruling penghibur insan adalah sebilah kayu yang pernah dikerati tatkala dia dalam pembikinan? Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati, Disanalah nanti engkau dapati bahwa hanya yang pernah membuat derita berkemampuan memberimu bahagia. Pabila engkau berdukacita, mengacalah lagi ke lubuk hati, Disanalah pula kau bakal menemui bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri. Diantara kalian ada yang mengatakan: "Sukacita itu lebih besar dari dukacita". Yang lain pula b