Skip to main content

Kebebasan

Seorang ahli pidato maju ke depan, menanyakan masalah kebebasan.

Didapatnya jawaban:
Telah kusaksikan, di gerbang kota maupun dekat tungku perapian, dikau bertekuk lutut memuja Sang Kebebasan.
Laksana budak belian merendahkan diri di depan sang tuan, si zalim yang disanjung-puja, walaupun dia hendak menikam.

Ya, sampaipun di relung-relung candi dan keteduhan pusat kota, kulihat yang paling bebas pun diantara kalian, memanggul kebebasannya laksana pikulan. Mengenakannya seperti borgol pembelenggu tangan.

Hatiku menitikkan darah di dalam dada, karena kutahu bahwa kau hanya dapat bebas sepenuhnya pabila kau dapat menyadari bahwa keinginan bebas pun merupakan sebentuk belenggu bagi jiwamu.


Hanya jikalau kau pada akhirnya, berhenti bicara tentang Kebebasan, sebagai suatu tujuan dan sebuah hasil pencapaian maka kau akan bebas.
Bila hari-hari tiada kosong dari beban fikiran, dan malam-malammu tiada sepi dari kekurangan dan kesedihan.

Bahkan justru kebebasanmu berada dalam rangkuman beban hidup ini, tetapi yang berhasil engkau atasi, dan jaya kau tegak menjulang tinggi sempurna terlepas segala tali-temali.

Dan bagaimana kau akan bangkit mengatasi hari dan malammu, pabila kau tak mematahkan belenggu ikatan yang di pagi pengalamanmu telah engkau kaitkan pada ketinggian tengah harimu?

Sesungguhnyalah apa yang kaunamai Kebebasan, tak lain dari mata terkuat di antara mata rantai belenggumu. Walau kilaunya gemerlap cemerlang di sinar surya serta menyilaukan pandang matamu.

Dan sadarkah kau apa yang akan kaulepaskan itu? Tiada lain adalah gumpilan dari dirimu, jikalau kau hendak mencapai Kebebasan yang kau rindu.

Pabila yang akan kaubuang itu suatu hukum yang tak adil, akuilah bahwa dia telah kau tulis dengan tanganmu sendiri, serta kauguratkan di atas permukaan keningmu.

Mustahil kau akan menghapusnya dengan hanya membakar kitab-kitab hukummu.

Walau air seluruh lautan kaucurahkan untuk itu.

Pabila seorang zalim yang hendak engkau tumbangkan, usahakanlah dahulu agar kursi tahtanya yang harus kau tegakkan dalam hatimu, kau cabut akarnya sebelum itu.

Sebab bagaimanakah seorang zalim dapat memerintah orang bebas yang berharga diri, jika bukan engkau sendiri membiarkannya menodai kebebasan yang kau junjung tinggi, mencorengkan arang pada harkat-martabat kemanusiaanmu pribadi?

Pabila suatu beban kesusahan yang hendak kau tanggalkan, maka ingatlah bahwa beban itu telah pernah menjadi pilihanmu bukannya telah dipaksakan di atas pundakmu.

Bilamana ketakutan yang ingin kau hilangkan, maka perasaan ngeri itu bersarang di hatimu, bukannya berada pada dia yang kau takuti.

Sebenarnyalah, segalanya itu bergetar di dalam diri, dalam rangkulan setengah terkatup yang abadi antara Yang kau inginkan dan yang kau takuti,
Yang memuakkan dan yang kau sanjung puji,
Yang kau kejar-kejar dan yang hendak kau tinggal pergi.

Kesemuanya ini hadir dalam dirimu selalu, bagaikan sinar dan bayangan, dalam pasangan-pasangan, yang lestari berpelukan.

Dan pabila sang bayangan menjadi kabur, melenyap hilang, maka sinar yang tinggal berwujudlah bayangan baru, bagi sinar yang lain.
Demikianlah selalu.

Seperti itulah pekerti Kebebasan, apabila ia kehilangan pengikatnya yang lama maka ia sendirilah menjadi pengikat baru, bagi kebebasan yang lebih agung, senantiasa.

Comments

Popular posts from this blog

Cinta

Berkatalah Almitra: Bicaralah kepada kami tentang Cinta. Diangkatnya kepala dan disapukannya pandangan kepada pendengarnya. Suasana hening meliputi mereka. Maka terdengar lantang ia bertutur kata: Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia, Walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula dia menyalibmu. Demi pertumbuhan mu, begitu pula demi pemangkasanmu. Sebagaimana dia membubung, mengecup puncak-puncak ketinggianmu, membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar dalam cahaya matahari, demikian pula dia menghunjam ke dasar akarmu, mengguncang-guncangnya dari ikatanmu dengan tanah. Laksana butir-butir gandum kau diraihnya. Ditumbuknya kau sampai polos telanjang. Diketamnya kau agar bebas dari kulitmu. Digoso

Kerja

Seorang peladang datang bertanya: Berilah penjelasan pada kami soal kerja. Maka demikianlah bunyi jawabnya: Kau bekerja supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini. Berpangku tangan menjadikanmu orang asing bagi musim. Serta keluar dari barisan kehidupan sendiri. Yang menderap perkasa, megah dalam ketaatannya, menuju keabadian masa. Bila bekerja engkau ibarat sepucuk seruling, lewat jantungnya bisikan sang waktu menjelma lagu. Siapa mau menjadi ilalang dungu dan bisu, pabila semesta raya melagukan gita bersama? Selama ini kau dengar orang berkata, bahwa kerja adalah kutukan, dan susah payah merupakan nasib, takdir suratan. Tetapi aku berkata kepadamu bahwa bila kau bekerja, engkau memenuhi sebagian cita-cita bumi yang tertinggi. Yang tersurat untukmu, ketika cita-cita itu terjelma. Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam. Namun pabila d

Suka dan Duka

Lalu seorang wanita bicara, menanyakan masalah suka dan duka. Yang dijawabnya: Sukacita adalah dukacita yang terbuka kedoknya. Dari sumber yang sama yang melahirkan tawa, betapa seringnya mengalir air mata. Dan bagaimana mungkin terjadi yang lain? Semakin dalam sang duka menggoreskan luka ke dalam sukma, maka semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia. Bukankah piala minuman, pernah menjalani pembakaran ketika berada dalam pembuatan? Dahulu bukanlah seruling penghibur insan adalah sebilah kayu yang pernah dikerati tatkala dia dalam pembikinan? Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati, Disanalah nanti engkau dapati bahwa hanya yang pernah membuat derita berkemampuan memberimu bahagia. Pabila engkau berdukacita, mengacalah lagi ke lubuk hati, Disanalah pula kau bakal menemui bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri. Diantara kalian ada yang mengatakan: "Sukacita itu lebih besar dari dukacita". Yang lain pula b