Almustafa, yang terpilih dan terkasih...
Laksana fajar di jamannya;
Dua belas tahun terdampar di kota Orphalase;
Kini menanti kapalnya tiba;
Membawanya pulang, ke pangkuan bumi kelahirannya.
Dan tahun keduabelas, hari ketujuh;
Di bulan Ielool, musim panen;
Dia mendaki puncak bukit di luar tembok kota;
Menembuskan pandang-rindu ke laut;
Lalu datang kapal itu, dari bayangan kabut.
Menguak lebarlah pintu-pintu hatinya;
Melimpah ruah rasa girangnya, meluapi batas-batas samudera;
Dipejamkannya mata, mengisakkan doa;
Dari kandungan kalbunya.
Namun ketika ia menuruni bukit, perasaan sedih mencekam diri;
Dan ia berfikir dalam hati;
Betapa aku dapat meninggalkan tempat ini;
Dengan kedamaian di hati, tanpa duka?
Tidak, bukannya tanpa luka di dalam jiwa;
Akan kutinggalkan kota ini.
Berkepanjangan hari-hari derita yang kuhayati di antara dindingnya;
Dan panjang pula malam0malam kesepian;
Tapi siapakah yang dapat berpisah dari kesedihan dan kesepiannya;
Tanpa rasa pilu di hati?
Terlampau banyak kepingan jiwaku berserakan sepanjang jalan-jalan ini;
Dan terlalu banyak buah kerinduanku berlari-larian di antara bukit-bukit ini;
Laksana anak-anak telanjang. Tak kuasa aku memisahkan diri dari mereka;
Tanpa hati berat dan tersayat.
Bukan sehelai baju yang kutanggalkan dari badan ini;
Namun seserpih kulit, yang kurobek dengan tanganku sendiri.
Bukan pula sepintas gagasan yang kulepaskan nanti;
Namun segumpal jantung;
Yang telah dilezatkan oleh rasa lapar dan haus.
Namun tak mungkin aku lebih lama termangu;
Laut yang menghimbau segala, agar datang kepadanya;
Juga menyeru aku, dan aku mesti bertolak.
Menetap tinggal, walau detik-detik membara di tengah malam;
Berarti tenggelam dalam kebekuan dan mengental;
Terlekat dalam cetakan.
Hampir ku tergiur membawa serta segala yang ada;
Tetapi bagaimana bisa?
Sebuah suara tak mungkin menyandang lidah dan bibir yang melahirkannya.
Sendiri dia harus membubung menyatukan diri dalam swasana
Pun seorang diri, dengan meninggalkan sarangnya, Sang Garuda harus mengangkasa melintasi Surya.
Ketika sampai di kaki bukit;
Sekali lagi ditorehnya arah laut;
Dan nampaklah kapalnya merapat ke dermaga.
Di geladaknya berdiri para kelasi, kerabatnya setumpah darah
Maka berteriaklah jiwanya menyambut mereka, serunya:
Hai putera-putera Ibu keramatku, hai para penunggang gelombang!
Betapa sering kulihat kau berlayar dalam mimpiku. Kini kau menjelangku di kala jaga; dan ini lah mimpiku yang lebih murni.
Sudah siap aku berangkat dan gairahku mekar terkembang bagai layar terpasang, menggelembung menantang angin.
Sereguk lagi kuhirup nafas dari udara lengang ini, sesayup lagi pandang mesraku membelai tamasya.
Lalu ku tegak di tengah-tengahmu, seorang pelaut di antara pelaut.
Dan kau lautan luas, Ibu yang tidur;
Padamu sungai dan anak sungai menemukan kedamaian dan kebebasannya.
Hanya satu kelok lagi di anak sungai ini, dan satu kericik terakhir dari arus air.
Dan aku akan berada di pangkuanmu,
Sepercik air tanpa pinggir,
Di tengah samudera luar,
Tanpa batas.
Ketika dia meneruskan perjalanan, dilihatnya dari jauh wanita dan pria penduduk pribumi meninggalkan pekerjannya di ladang dan kebun anggur, bergegas menyambutnya di gerbang kota.
Lalu terdengar suara mereka menyerukan namanya, dan mereka berteriak bersahut-sahutan, meneruskan berita kedatangan kapalnya.
Dan ia berkata pada dirinya:
Sungguhkan saat perpisahan menjadi pula saat bertemu?
Benarkah akhir hariku akan merupakan fajar baru?
Lalu apa yang kuberikan kepada dia yang meninggalkan bajaknya di tengah sawah, atau dia yang menghentikan roda pemeras anggurnya?
Dapatkah hatiku menjadi pohon nan lebat berbuah, yang dapat kupanen untuk kuberikan kepada mereka?
Akan kah kasihku deras mengucur, melimpah tak putus bagai air mancur, sehingga terisi penuh gelas-gelasnya?
Mampukah aku menjadi harpa yang disentuh oleh-Nya, atau seruling yang ditiup oleh nafas-Nya?
Aku si pencari kesunyian,
Mustika apakah yang telah kutemukan di dalamnya yang patut kuwariskan?
Pabila hari ini saatku mengetam, di ladang manakah dahulu, kusebarkan benih-benihku, serta di musim apakah yang terlupa?
Jika ini lah waktunya kuangkat lentera,
nyala di dalamnya bukanlah dariku.
Kosong dan gelap kuacungkan,
Penjaga malamlah penyulut sumbu,
Setelah minyaknya dipenuhkan pula.
Semua ini diucapkan dengan kata-kata. Namun masih banyak lagi yang terkunci di dalam hati.
Sebab dia sendiri tak kuasa membuka rahasianya.
Setelah ia memasuki kota, berduyun-duyun orang menyambutnya. Berserulah mereka, bagaikan serentak dari satu suara.
Penduduk yang tua-tua maju dan berseru:
Jangan dulu pergi tergesa meninggalkan kami!
Di rembang petang kehidupan kami, engkau lah fajar penerang hari.
Kau bukan orang asing bagi kami, bahkan bukan pula seorang tamu, melainkan anak kesayangan kami.
Jangan dahulu kaurenggutkan wajahmu, dari tatapan mata kami yang masih rindu.
Maka berkatalah para pendeta pria maupun wanita:
Gelombang samudera janganlah hendaknya menjadi pemisah dan jarak antara kita, dan sepotong usia yang kau habiskan bersama kami.
Jangan hanya tinggal kenangan sunyi.
Laksana ruh engkau hidup di antara kami,
Dan bayang-bayangmu menyaputkan cahaya di atas wajah kami.
Kami telah menyayangimu, namun dengan kasih yang membisu;
Serba terselubung, oleh aneka macam kerudung.
Tapi kini kasih kami menjerit kepadamu, tanpa tedeng aling-aling semu.
Memang, bukankah selamanya, kasih sayang itu tak menyadari kedalamannya sendiri,
Sampai datang saat berpisah?
Yang lain pun berdatangan mengerumuninya dan mengelu-elukannya. Namun dia berdiam terpaku, hanya menundukkan kepala dan yang berdiri dekat kepadanya sempat menyaksikan menitiknya airmata membasahi dada.
Maka berjalanlah ia bersama mereka, menuju lapangan luas di depan kuil.
Dan muncullah dari ruang keraman seorang wanita,
Almitra namanya, seorang aulia.
Ditatapnya wanita itu dengan kasih yang agung;
Sebab dialah orangnya, yang pertama-tama, menanyai serta mempercayainya;
Ketika ia tiba memasuki kota.
Almitra menyambutnya:
O Rasul Tuhan, di dalam mencari inti kebenaran, betapa lama kau mereka-reka jarak kejauhan, dari pengembaraan layar-layar kapalmu.
Dan kini kapal itu datang; datanglah pula saat engkau mesti berangkat.
Rindu pada kampung halamanmu sangat mendalam, tumpuan kenangan serta pengharapan.
Kasih kami tak akan mengikatmu, pun kepentingan kami janganlah jadi halangan.
Hanyalah permintaan kami, terakhir sebelum kau pergi, bicaralah kepada kami, dan wariskan sekelumit perbendaharaan kebenaran.
Yang akan kami teruskan kepada anak-anak kami, dan mereka akan meneruskannya pada anak-anaknya, sebuah warisan lestari abadi.
Dalam kesunyianmu kau telah ikut menjaga hari-hari kami, dan dalam kewaspadaanmu telah kau dengar tangis dan tawa di dalam tidur kami.
Oleh sebab itu, bukakanlah jiwa kami, agar kami mengerti.
Dan kisahkanlah penglihatanmu di balik tabir kegaiban, antara kelahiran dan kematian.
Maka dijawabnya:
Rakyat Orphalese, tentang apakah aku akan bicara denganmu, kalau bukan tentang sesuatu, yang detik-detik ini pun sedang bergejolak di dalam kalbumu?
Blogarama
Laksana fajar di jamannya;
Dua belas tahun terdampar di kota Orphalase;
Kini menanti kapalnya tiba;
Membawanya pulang, ke pangkuan bumi kelahirannya.
Dan tahun keduabelas, hari ketujuh;
Di bulan Ielool, musim panen;
Dia mendaki puncak bukit di luar tembok kota;
Menembuskan pandang-rindu ke laut;
Lalu datang kapal itu, dari bayangan kabut.
Menguak lebarlah pintu-pintu hatinya;
Melimpah ruah rasa girangnya, meluapi batas-batas samudera;
Dipejamkannya mata, mengisakkan doa;
Dari kandungan kalbunya.
Namun ketika ia menuruni bukit, perasaan sedih mencekam diri;
Dan ia berfikir dalam hati;
Betapa aku dapat meninggalkan tempat ini;
Dengan kedamaian di hati, tanpa duka?
Tidak, bukannya tanpa luka di dalam jiwa;
Akan kutinggalkan kota ini.
Berkepanjangan hari-hari derita yang kuhayati di antara dindingnya;
Dan panjang pula malam0malam kesepian;
Tapi siapakah yang dapat berpisah dari kesedihan dan kesepiannya;
Tanpa rasa pilu di hati?
Terlampau banyak kepingan jiwaku berserakan sepanjang jalan-jalan ini;
Dan terlalu banyak buah kerinduanku berlari-larian di antara bukit-bukit ini;
Laksana anak-anak telanjang. Tak kuasa aku memisahkan diri dari mereka;
Tanpa hati berat dan tersayat.
Bukan sehelai baju yang kutanggalkan dari badan ini;
Namun seserpih kulit, yang kurobek dengan tanganku sendiri.
Bukan pula sepintas gagasan yang kulepaskan nanti;
Namun segumpal jantung;
Yang telah dilezatkan oleh rasa lapar dan haus.
Namun tak mungkin aku lebih lama termangu;
Laut yang menghimbau segala, agar datang kepadanya;
Juga menyeru aku, dan aku mesti bertolak.
Menetap tinggal, walau detik-detik membara di tengah malam;
Berarti tenggelam dalam kebekuan dan mengental;
Terlekat dalam cetakan.
Hampir ku tergiur membawa serta segala yang ada;
Tetapi bagaimana bisa?
Sebuah suara tak mungkin menyandang lidah dan bibir yang melahirkannya.
Sendiri dia harus membubung menyatukan diri dalam swasana
Pun seorang diri, dengan meninggalkan sarangnya, Sang Garuda harus mengangkasa melintasi Surya.
Ketika sampai di kaki bukit;
Sekali lagi ditorehnya arah laut;
Dan nampaklah kapalnya merapat ke dermaga.
Di geladaknya berdiri para kelasi, kerabatnya setumpah darah
Maka berteriaklah jiwanya menyambut mereka, serunya:
Hai putera-putera Ibu keramatku, hai para penunggang gelombang!
Betapa sering kulihat kau berlayar dalam mimpiku. Kini kau menjelangku di kala jaga; dan ini lah mimpiku yang lebih murni.
Sudah siap aku berangkat dan gairahku mekar terkembang bagai layar terpasang, menggelembung menantang angin.
Sereguk lagi kuhirup nafas dari udara lengang ini, sesayup lagi pandang mesraku membelai tamasya.
Lalu ku tegak di tengah-tengahmu, seorang pelaut di antara pelaut.
Dan kau lautan luas, Ibu yang tidur;
Padamu sungai dan anak sungai menemukan kedamaian dan kebebasannya.
Hanya satu kelok lagi di anak sungai ini, dan satu kericik terakhir dari arus air.
Dan aku akan berada di pangkuanmu,
Sepercik air tanpa pinggir,
Di tengah samudera luar,
Tanpa batas.
Ketika dia meneruskan perjalanan, dilihatnya dari jauh wanita dan pria penduduk pribumi meninggalkan pekerjannya di ladang dan kebun anggur, bergegas menyambutnya di gerbang kota.
Lalu terdengar suara mereka menyerukan namanya, dan mereka berteriak bersahut-sahutan, meneruskan berita kedatangan kapalnya.
Dan ia berkata pada dirinya:
Sungguhkan saat perpisahan menjadi pula saat bertemu?
Benarkah akhir hariku akan merupakan fajar baru?
Lalu apa yang kuberikan kepada dia yang meninggalkan bajaknya di tengah sawah, atau dia yang menghentikan roda pemeras anggurnya?
Dapatkah hatiku menjadi pohon nan lebat berbuah, yang dapat kupanen untuk kuberikan kepada mereka?
Akan kah kasihku deras mengucur, melimpah tak putus bagai air mancur, sehingga terisi penuh gelas-gelasnya?
Mampukah aku menjadi harpa yang disentuh oleh-Nya, atau seruling yang ditiup oleh nafas-Nya?
Aku si pencari kesunyian,
Mustika apakah yang telah kutemukan di dalamnya yang patut kuwariskan?
Pabila hari ini saatku mengetam, di ladang manakah dahulu, kusebarkan benih-benihku, serta di musim apakah yang terlupa?
Jika ini lah waktunya kuangkat lentera,
nyala di dalamnya bukanlah dariku.
Kosong dan gelap kuacungkan,
Penjaga malamlah penyulut sumbu,
Setelah minyaknya dipenuhkan pula.
Semua ini diucapkan dengan kata-kata. Namun masih banyak lagi yang terkunci di dalam hati.
Sebab dia sendiri tak kuasa membuka rahasianya.
Setelah ia memasuki kota, berduyun-duyun orang menyambutnya. Berserulah mereka, bagaikan serentak dari satu suara.
Penduduk yang tua-tua maju dan berseru:
Jangan dulu pergi tergesa meninggalkan kami!
Di rembang petang kehidupan kami, engkau lah fajar penerang hari.
Kau bukan orang asing bagi kami, bahkan bukan pula seorang tamu, melainkan anak kesayangan kami.
Jangan dahulu kaurenggutkan wajahmu, dari tatapan mata kami yang masih rindu.
Maka berkatalah para pendeta pria maupun wanita:
Gelombang samudera janganlah hendaknya menjadi pemisah dan jarak antara kita, dan sepotong usia yang kau habiskan bersama kami.
Jangan hanya tinggal kenangan sunyi.
Laksana ruh engkau hidup di antara kami,
Dan bayang-bayangmu menyaputkan cahaya di atas wajah kami.
Kami telah menyayangimu, namun dengan kasih yang membisu;
Serba terselubung, oleh aneka macam kerudung.
Tapi kini kasih kami menjerit kepadamu, tanpa tedeng aling-aling semu.
Memang, bukankah selamanya, kasih sayang itu tak menyadari kedalamannya sendiri,
Sampai datang saat berpisah?
Yang lain pun berdatangan mengerumuninya dan mengelu-elukannya. Namun dia berdiam terpaku, hanya menundukkan kepala dan yang berdiri dekat kepadanya sempat menyaksikan menitiknya airmata membasahi dada.
Maka berjalanlah ia bersama mereka, menuju lapangan luas di depan kuil.
Dan muncullah dari ruang keraman seorang wanita,
Almitra namanya, seorang aulia.
Ditatapnya wanita itu dengan kasih yang agung;
Sebab dialah orangnya, yang pertama-tama, menanyai serta mempercayainya;
Ketika ia tiba memasuki kota.
Almitra menyambutnya:
O Rasul Tuhan, di dalam mencari inti kebenaran, betapa lama kau mereka-reka jarak kejauhan, dari pengembaraan layar-layar kapalmu.
Dan kini kapal itu datang; datanglah pula saat engkau mesti berangkat.
Rindu pada kampung halamanmu sangat mendalam, tumpuan kenangan serta pengharapan.
Kasih kami tak akan mengikatmu, pun kepentingan kami janganlah jadi halangan.
Hanyalah permintaan kami, terakhir sebelum kau pergi, bicaralah kepada kami, dan wariskan sekelumit perbendaharaan kebenaran.
Yang akan kami teruskan kepada anak-anak kami, dan mereka akan meneruskannya pada anak-anaknya, sebuah warisan lestari abadi.
Dalam kesunyianmu kau telah ikut menjaga hari-hari kami, dan dalam kewaspadaanmu telah kau dengar tangis dan tawa di dalam tidur kami.
Oleh sebab itu, bukakanlah jiwa kami, agar kami mengerti.
Dan kisahkanlah penglihatanmu di balik tabir kegaiban, antara kelahiran dan kematian.
Maka dijawabnya:
Rakyat Orphalese, tentang apakah aku akan bicara denganmu, kalau bukan tentang sesuatu, yang detik-detik ini pun sedang bergejolak di dalam kalbumu?
Blogarama
Comments