Skip to main content

Keindahan

Seorang penyair mengajukan permintaan agar Sang Nabi menguraikan soal Keindahan.

Dan mendapat tanggapan:

Kemanakah kau hendak mencari keindahan, dengan cara bagaimana pula dia dapat kau temukan.
Pabila tidak dia sendiri yang berada di perjalananmu, dan menunjukkan jalan untuk bertemu?

Serta bagaimanakah kau akan berbicara mengenai dia, jikalau bukan dia sendiri yang merangkainya dalam kata-kata?



Mereka yang duka dan terluka akan berkata:
"Keindahan itu ramah dan lembut laksana sutera,
Semisal wanita muda yang baru pertama bermahkota: "Ibu"
Dan masih tersipu-sipu menggunakan keagungan nurnya yang baru.

Mereka yang bersemangat akan berpendapat:
"Tidak". Keindahan itu perkasa, kuat lagi pula dahsyat laksana gempa yang mengguncang bumi pijakan kita dan prahara yang menggelarkan langit naungan kita.

Mereka yang letih dan lelah akan bicara:
"Keindahan itu rangkaian bisikan yang amat mesra, dia bicara dari dalam rongga jiwa, suaranya mengalah kepada kebisuan kita bagaikan cahaya redup yang gemetar sayup. Pada bayangan yang datang meniup".

Namun mereka yang gelisah akan bersuara:
"Telah kami dengar dia berseru-seru antara gunung dan belantara. Dan bersama teriakannya terdengar derap telapak kuda, serta kepak sayap raksasa juga raungan singa".

Lain lagi pendapat penjaga malam, peronda kota:
"Keindahan akan terbit di fajar subuh dan merekah bersama surya".

Di kala siang, sedang teriknya panas mentari, pekerja dan musafir seolah bersaksi:
"Telah kami lihat dia, waktu senja dari jendela langit dia menampakkan diri".

Di musim dingin mereka yang didera dinginnya salju berbisik bisu:
"Dia pasti akan datang menjelangku, nanti di musim semi meloncat-loncatlah dia berlari di bukit-bukit yang cerah berseri".

Di musim panas, para pemetik buah akan saling bertutur:
"Bukankah kita telah melihatnya, sedang menari ria, bersama daun-daun dan musim gugur yang menjadi irama? Serta menyaksikan pula sepercik salju menghiasi rambutnya?"

Semuanya itu telah kau utarakan tentang keindahan, namun sebenarnya kau tidak berbicara tentang dia, melainkan kebutuhan insanilah yang kau perkatakan.
Kebutuhan yang ingin sampai pada pemenuhan.
Padahal keindahan bukannya kebutuhan, melainkan suatu keasyikan.

Bukanlah dia suatu kerongkongan yang dahaga, Bukan pula sebuah tangan yang terulur hampa, namun sebuah hati yang terbakar menyala, jiwa yang terpukau dalam pesona.

Dia bukan sebuah bayangan yang ingin kau pandang, atau pun suatu lagu yang ingin kau nikmati. Dia lah citra yang nampak walau mata terpejam, dan suatu lagu yang menggema di sanubari.

Bukanlah ia getah dari guratan kulit kayu, bukannya pula sehelai sayap yang terkait pada kuku. Namun sebidang taman penuh bunga abadi, sekelompok bidadari yang terbang senantiasa kian ke mari.

Oh Rakyat Orphalese, keindahan adalah kehidupan.
Di kala dia menyingkapkan cadar dari wajah keramatnya. Tetapi kaulah kehidupan itu, dan kau lah cadar itu.
Keindahan ialah keabadian yang memandang kaca. Tetapi kau lah keabadian itu dan engkaulah pula kaca.

Comments

Popular posts from this blog

Cinta

Berkatalah Almitra: Bicaralah kepada kami tentang Cinta. Diangkatnya kepala dan disapukannya pandangan kepada pendengarnya. Suasana hening meliputi mereka. Maka terdengar lantang ia bertutur kata: Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia, Walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula dia menyalibmu. Demi pertumbuhan mu, begitu pula demi pemangkasanmu. Sebagaimana dia membubung, mengecup puncak-puncak ketinggianmu, membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar dalam cahaya matahari, demikian pula dia menghunjam ke dasar akarmu, mengguncang-guncangnya dari ikatanmu dengan tanah. Laksana butir-butir gandum kau diraihnya. Ditumbuknya kau sampai polos telanjang. Diketamnya kau agar bebas dari kulitmu. Digoso

Kerja

Seorang peladang datang bertanya: Berilah penjelasan pada kami soal kerja. Maka demikianlah bunyi jawabnya: Kau bekerja supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini. Berpangku tangan menjadikanmu orang asing bagi musim. Serta keluar dari barisan kehidupan sendiri. Yang menderap perkasa, megah dalam ketaatannya, menuju keabadian masa. Bila bekerja engkau ibarat sepucuk seruling, lewat jantungnya bisikan sang waktu menjelma lagu. Siapa mau menjadi ilalang dungu dan bisu, pabila semesta raya melagukan gita bersama? Selama ini kau dengar orang berkata, bahwa kerja adalah kutukan, dan susah payah merupakan nasib, takdir suratan. Tetapi aku berkata kepadamu bahwa bila kau bekerja, engkau memenuhi sebagian cita-cita bumi yang tertinggi. Yang tersurat untukmu, ketika cita-cita itu terjelma. Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam. Namun pabila d

Suka dan Duka

Lalu seorang wanita bicara, menanyakan masalah suka dan duka. Yang dijawabnya: Sukacita adalah dukacita yang terbuka kedoknya. Dari sumber yang sama yang melahirkan tawa, betapa seringnya mengalir air mata. Dan bagaimana mungkin terjadi yang lain? Semakin dalam sang duka menggoreskan luka ke dalam sukma, maka semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia. Bukankah piala minuman, pernah menjalani pembakaran ketika berada dalam pembuatan? Dahulu bukanlah seruling penghibur insan adalah sebilah kayu yang pernah dikerati tatkala dia dalam pembikinan? Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati, Disanalah nanti engkau dapati bahwa hanya yang pernah membuat derita berkemampuan memberimu bahagia. Pabila engkau berdukacita, mengacalah lagi ke lubuk hati, Disanalah pula kau bakal menemui bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri. Diantara kalian ada yang mengatakan: "Sukacita itu lebih besar dari dukacita". Yang lain pula b