Skip to main content

Diri Pribadi

Lalu seorang pria angkat bicara:

Guru, terangkanlah kini kepada kami tentang mengenal diri pribadi.

Dan tutrnya berbunyi:
Diam-diam dalam keheningan, hatimu sudah tahu segala rahasia hari serta malam.
Namun telingamu masih rindu mendengar pengetahuan batin bersuara.
Kau dambakan bentuk kata-kata untuk makna yang selama ini kau pahami dalam rasa.
Kau ingin meraba dengan sentuhan panca indera wujud tri dimensi dunia mimpi.


Dan seyogianyalah demikian keinginanmu.
Sumber tersembunyi dari percikan jiwamu,
Harus menyembul dan mengalir ke muara
Gemercik menuju arah samudera.
Sehingga harta terpendam di alas tanpa batas jiwamu terbuka nyata di hadapan penglihatanmu.

Namun janganlah harta yang rahasia itu kau timbang dengan timbangan,
Dan jangan kau duga dengan galah atau kau ukur dengan pita ukuran.
Sebab diri pribadi adalah samudera tanpa batas, tanpa alas.

Jangan kau berkata "Aku menemukan kebenaran".
Lebih baik merasa "Aku menemukan sebagian kebenaran".

Jangan kau ucapkan "Aku menemukan jalan jiwa".
Lebih baik bisikkan "Aku menemukan sesosok jiwa, yang berjalan di jalanku".
Oleh sebab sang jiwa berjalan di segala jalan.

Dia tidak berjalan menurut garis lempang.
Tiada pula tumbuh liar bagai ilalang.
Sesungguhnyalah sang jiwa membuka kelopaknya,
Laksana sekuntum teratai yang bermahtokan beribu ribu daun bunga.

Comments

Popular posts from this blog

Cinta

Berkatalah Almitra: Bicaralah kepada kami tentang Cinta. Diangkatnya kepala dan disapukannya pandangan kepada pendengarnya. Suasana hening meliputi mereka. Maka terdengar lantang ia bertutur kata: Apabila cinta memanggilmu ikutilah dia, Walau jalannya terjal berliku-liku. Dan apabila sayapnya merangkummu, pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu. Dan jika dia bicara kepadamu, percayalah, walau ucapannya membuyarkan mimpimu, bagai angin utara mengobrak-abrik pertamanan. Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu, demikian pula dia menyalibmu. Demi pertumbuhan mu, begitu pula demi pemangkasanmu. Sebagaimana dia membubung, mengecup puncak-puncak ketinggianmu, membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar dalam cahaya matahari, demikian pula dia menghunjam ke dasar akarmu, mengguncang-guncangnya dari ikatanmu dengan tanah. Laksana butir-butir gandum kau diraihnya. Ditumbuknya kau sampai polos telanjang. Diketamnya kau agar bebas dari kulitmu. Digoso

Kerja

Seorang peladang datang bertanya: Berilah penjelasan pada kami soal kerja. Maka demikianlah bunyi jawabnya: Kau bekerja supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini. Berpangku tangan menjadikanmu orang asing bagi musim. Serta keluar dari barisan kehidupan sendiri. Yang menderap perkasa, megah dalam ketaatannya, menuju keabadian masa. Bila bekerja engkau ibarat sepucuk seruling, lewat jantungnya bisikan sang waktu menjelma lagu. Siapa mau menjadi ilalang dungu dan bisu, pabila semesta raya melagukan gita bersama? Selama ini kau dengar orang berkata, bahwa kerja adalah kutukan, dan susah payah merupakan nasib, takdir suratan. Tetapi aku berkata kepadamu bahwa bila kau bekerja, engkau memenuhi sebagian cita-cita bumi yang tertinggi. Yang tersurat untukmu, ketika cita-cita itu terjelma. Dengan selalu menyibukkan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan. Mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam. Namun pabila d

Suka dan Duka

Lalu seorang wanita bicara, menanyakan masalah suka dan duka. Yang dijawabnya: Sukacita adalah dukacita yang terbuka kedoknya. Dari sumber yang sama yang melahirkan tawa, betapa seringnya mengalir air mata. Dan bagaimana mungkin terjadi yang lain? Semakin dalam sang duka menggoreskan luka ke dalam sukma, maka semakin mampu sang kalbu mewadahi bahagia. Bukankah piala minuman, pernah menjalani pembakaran ketika berada dalam pembuatan? Dahulu bukanlah seruling penghibur insan adalah sebilah kayu yang pernah dikerati tatkala dia dalam pembikinan? Pabila engkau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati, Disanalah nanti engkau dapati bahwa hanya yang pernah membuat derita berkemampuan memberimu bahagia. Pabila engkau berdukacita, mengacalah lagi ke lubuk hati, Disanalah pula kau bakal menemui bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri. Diantara kalian ada yang mengatakan: "Sukacita itu lebih besar dari dukacita". Yang lain pula b