(sambungan dari Perpisahan A)
...Yang merekam hari-hari kemarin dulu, dan masa-masa terpendam jauh silam, ketika bumi belum mengenal kita dan dirinya sendiri, dan kegelapan ketika bumi resah dalam kegelisahan malam.
Orang bijaksana telah banyak mendatangimu, untuk memberikan ajaran kebijaksanaannya, namun aku datang mengambil kebijaksanaan itu:
Lalu lihatlah, kutemukan sesuatu,
Yang malah lebih besar dari kebijaksanaan.
Itulah api sumber semangat dalam dirimu,
Yang makin lama makin tumbuh dan berkembang,
Sedangkan kau yang tak menyadari perkembangan itu,
Meratapi hari-harimu yang nampak menjadi usang.
Adalah kehidupan yang mencari hidup jasmaniah belaka,
Yang masih gentar menghadapi pintu alam baka.
Tiada pekuburan di sini,
Gemunung ini dan dataran ini, yang luas terhampar,
Tak lain dari sebuah tilam, buaian mimpi,
Dan sebuah batu loncatan, sebentuk dampar.
Pabila kau melewati sebidang tanah sunyi,
Tempat kau baringkan nenek-moyang leluhurmu,
Amatilah seksama permukiman itu,
Dan akan terlihatlah oleh mata hatimu,
Dirimu sendiri serta keturunanmu nanti,
Bergandengan tangan menari-nari.
Sungguh sering kau bersuka-cita, tanpa menyadari.
Orang-orang lain telah pula mendatangimu,
Memberimu harapan janji kencana,
Demi memperteguh keimananmu,
Dan telah pula kaubalas jasa mereka,
Dengan hartamu, kekuasaan dan kemegahan.
Sedangkan aku ini: Apa yang kuberikan belum jua berupa janji,
Namun padaku, balas jasamu lebih melimpah lagi,
Dalam diriku telah engkau tanam,
Kedambaan hidup yang lebih mendalam,
Sungguh tiada pemberian yang lebih berharga,
Bagi dia, yang memusatkan tujuan hdup lewat bibirnya,
Dan mencurahkan seluruh kehidupan fana maupun baka,
Dalam satu sumber pancaran air raksasa.
Di sinilah penghargaan serta kemuliaan bagiku,
Bahwa setiap ku datang ke air pancuran,
Di kala dahaga, hendak membasahi kerongkongan,
Setiap kali pula kudapatkan: air hidup itu sendiri tengah kehausan;
Dan dia meminumku, selagi aku meminumnya.
Mungkin di antaramu ada yang menganggap diriku tinggi hati,
Terlalu amat enggan menerima hadiah pemberian,
Memang benar, terlalu sombong menerima upah, aku ini,
Walaupun aku telah makan sekedar buah-buahan hutan,
Yang liar tumbuh di bukit, pencegah kelaparan,
Ketika kau rela mengajakku serta di meja makanmu.
Dan meski telah kurebahkan badanku yang letih penat
Di emper kuil, sekedar untuk istirahat,
Di kala kau ikhlas menawarkan penginapan di rumahmu,
Namun perhatianmu yang mesra atas hari dan malamku
Bukan itu yang membuat santapanku terasa lezat nikmat
Dan memberkahi tidurku dengan mimpi gaib yang penuh hikmat.
Aku bersyukur, padamu
Bahwa kau telah memberi demikian melimpah,
Tanpa sadar membagi berkah.
Sesungguhnya kemurahan hati yang bercermin diri,
Berubah beku menjadi batu.
Dan amal kebaikan yang memuji diri,
Menjadi benih umpatan seru.
Beberapa di antaramu telah menyebutku takabur,
Dimabuk kepayang oleh kegemaranku menyepi,
Dan mengatakan: "Dengan pohon-pohon hutan dia bertutur,
Tidak dengan manusia sesamanya."
"Seorang diri dia duduk di puncak-puncak perbukitan,
Sering aku mengembara dalam kesunyian hutan,
Namun betapa aku akan dapat mengamatimu dengan seksama,
Tanpa mendaki ketinggian dan dari jarak jauh merenungi kota?
Ah, betapa mungkin manusia sedekat-dekatnya menghampiri manusia,
Tanpa mengambil jarak - memandang sejauh-jauhnya?
Yang lain di antaramu berbicara kepadaku,
Mereka berbicara tanpa terdengar kata-kata, ujarnya:
"O, orang aneh, orang yang ganjil, pencinta keluhuran yang tak teraih,
Mengapa bermukim antara puncak-puncak gunung, tempat elang bersarang,
Mengapa mencari perburuan yang remang-remang?"
"Badai apakah gerangan yang hendak kautangkap dalam jalamu,
Burung gaib manakah yang ingin kaujaring di langit biru?"
"Ke marilah engkau bersatu dengan kami,
Turunlah, bersama kita akan membagi nasi,
Dan lepaskan hausmu dengan anggur ini."
Kesunyian jiwa mereka telah melahirkan kata-kata ini,
Namun pabila kesunyian itu lebih mendalam lagi,
Maka mereka akan dapat mengerti,
Bahwa yang kucari tiada lain dari rahasia suka dan duka manusia,
Sedang yang kuburu tiada lain dari sukma agung manusia,
Yang menjelajah angkasa raya.
Aku pemburu, yang juga diburu,
Anak-anak panah yang kulepaskan, balik kembali,
Sebagian besar tepat menghunjam di dadaku sendiri.
Yang terbang adalah juga dia yang melata,
Ketika sayap kukembangkan di cahya surya,
Bayanganku di bumi berupa kura-kura belaka.
Dia yang percaya ternyata masih juga seorang peragu;
Alangkah sering jariku menekan pada lukaku sendiri,
Demi menghayati keimanan yang kaumiliki,
Dan memahami ilmu lebih dalam, yang engkau kuasai.
Dengan keimanan ini, dan dengan pengetahuan ini, aku berkata,
Bahwa manusia tiada terkurung dalam kungkungan raga,
Pun tiada terikat pada rumah tinggal serta tanah ladang,
"Aku" sejati menjelajahi gunung, mengembara di atas angin.
Dia bukan suatu yang merangkak, melata mencari kehangatan mentari,
Bukan pula penggali terowongan demi mencari perlindungan diri.
Dialah roh merdeka, suatu jiwa yang meliputi dunia,
Dalam ether bergerak, dibuai swasana.
Pabila kata-kata ini agak kabur, maka jangan berusaha mencari kejelasannya,
Sebab kabur dan samar-samar pula segala inti asalmula kejadian,
Namun tiada demikian pada akhir kejadiannya.
Nyaris kudambakan kalian mengenangku sebagai awal,
Kehidupan, serta semua yang hidup, ciptaan Tuhan,
Terjadi semula di dalam kabut, bukan dalam kristal
Dan siapa tahu, bahwa kristal itu kabut yang mengental?
Dan inilah yang ingin agar kaukenangkan, bila kau ingat padaku:
Bahwa apa yang nampak paling rapuh dan lemah padamu,
Adalah yang paling kuat dan paling tegas menuju tujuannya;
Bukankah nafas yang lembut itu penegak tulang dan pengeras kerangkamu?
Bukankah suatu impian sutera, yang tak kalian ingat lagi,
Telah membangun kotamu, dengan segala isinya?
Kalau saja kau mampu melihat, gelombang nafas yang demikian dahsyat,
Gelombang itu akan menutup pandangan mata dari segala,
Dan kalau saja kau dapat menangkap, gemerisik tenunan sutera mimpi,
Tiada suatu suara lain pun yang dapat kaudengar lagi.
Tetapi kau tak dapat melihat,
Dan mendengar pun tiada dapat,
Demikianlah memang yang sebaiknya.
Cadar yang menyelubungi mata, akan disingkapkan oleh dia
Yang menenunnya,
Dan tanah yang menyumbat telinga, akan dibersihkan oleh tangan,
Yang mengepalnya.
Kemudian kau akan melihat kembali,
Dan kau akan dapat mendengar lagi.
Dan kau tiada memendam penyesalan, mengapa telah mengalami kebutaan,
Pun tiada rasa kekecewaan, terenggut daya tangkap pendengaran.
Sebab di hari itu, fajar pengertian merekah bagimu,
Akan tujuan terpendam segala kejadian.
Dan kau akan mensyukuri kegelapan,
Sebagaimana kau mensyukuri cahaya terang.
Sehabis kata-kata ini ia memandang sekeliling,
Dilihatnya nahkoda kapal sudah tegak dekat kemudi.
Ganti-berganti mengamati layar penuh terkembang.
Dan cakrawala luas yang menanti.
Lalu ucapnya:
Terlampau amat sabar perangai hati nahkoda kapalku,
Sedangkan angin telah kencang meniup, layar pun gelisah,
Bahkan kemudi mengharap perintah petunjuk arah.
Namun nahkodaku tenang, menunggu sampai aku hening,
Dan pelautku yang telah mendengar lagu agung samudra raya.
Mereka pun telah begitu sabar memasang telinga.
Tiada lagi mereka harus menunggu, kini;
Aku telah siap untuk pergi.
Sungai telah sampai kepada muaranya.
Dan lautan luas, Ibu nan agung,
Sekali lagi mendekap sang putera dalam pelukannya.
Selamat tinggal, o rakyat Orphalese!
Hari telah lalu,
Mengatupkan kelopaknya laksana teratai,
Demi menyingsingnya fajar baru.
Segala pemberian yang di sini kita terima,
Kita simpan dalam hati dan kita pelihara.
Kalaupun belum cukup, maka sekali lagi,
Kita mesti berkumpul, menengadahkan tangan bersama,
Kepada Sang Pemberi.
Jangan lupa, aku akan kembali,
Tiada lama lagi,
Hasratku ini akan mengental jadi debu,
Serta busa permulaan kejadian tubuh baru.
Sejenak istirahat di ayunan angin lalu,
Dan sesudah itu:
Seorang Ibu baru akan melahirkanku.
Selamat tinggal padamu, pada masa muda yang kuhayati bersamamu,
Baru kemarin rasanya, kita jumpa dalam mimpi ini,
Telah kauisi hari-hari sunyiku dengan lagu nyanyianmu,
Dan kujulangkan menara langit dari kumpulan rindu hati.
Tetapi kini buaian mimpi telah meninggalkan kami,
Dan mimpi pun telah berakhir,
Hari telah tinggi.
Terik siang mulai menerpa, dan sadar kita sepenuhnya:
Saat perpisahan pun telah tiba.
Saat perpisahan pun telah tiba.
Dalam keremangan senja ingatan abadi,
Kita masih akan berjumpa kembali,
Dan kita bakal berwawan-sabda lagi,
Di situlah lagu yang kaunyanyikan untukku, lebih dalam berisi.
Dan pabila tangan kita bersentuhan di lain mimpi,
Mari tegakkan menara langit lagi, menjulang tinggi.
Sambil berkata demikian diberikannya isyarat pada para kelasi,
Yang serta-merta melepas jangkar, segala ikatan kapal pun diputuskan,
Bergeraklah laju perahu, menuju arah terbit matahari.
Gemuruhlah teriakan, bagaikan bangkit dari kesatuan hati,
Membubung ke udara, didukung ombak, mengaluni wajah samudra,
Laksana sebuah tiupan sangkakala raksasa.
Hanya Almitra yang tetap tinggal berdiam diri,
Memperturutkan kapal sejauh mata dapat memandangnya,
Hingga melenyap dalam selubung kabut di kejauhan.
Ketika pantai pun telah sepi,
Tetap tegaklah ia seorang diri,
Mengenang ucapan terakhir yang terpateri dalam hati:
"Sejenak istirahat di ayunan angin lalu,
dan sesudah itu:
Seorang Ibu akan melahirkanku..."
***
Comments